‘Orang yang tidak bisa tersenyum jangan membuka
toko’, demikian pepatah China yang sudah ada sejak zaman Tiongkok kuno.
Untuk membuka toko, orang Cina tidak mengatakan harus punya
uang, melainkan senyum yang harus dipunyai lebih dulu. Apakah karena
uang tidak penting? Tentu saja modal berupa uang sangat penting. Bahkan
kalau bicara modal, maka yang ada dalam benak kita adalah modal dalam
bentuk uang. Itu tandanya uang sangat penting. Uang memang bukan segalanya, tetapi segalanya perlu uang.
Maksud dari pepatah itu hendak menunjukkan betapa pentingnya sebuah senyuman. Membuka toko tidak akan lepas dari kegiatan yang berhubungan dengan manusia. Memajang barang dagangan di toko, beda dengan memajang barang koleksi di kamar kita. Barang yang kita pajang di toko adalah barang yang kita jual. Barang yang kita tawarkan agar orang lain datang membeli, datang lagi hari berikutnya, dan terus akan datang. Kalau bisa malahan mereka akan mengajak orang lain untuk datang membeli. Ini jelas beda dengan memajang barang koleksi kita di kamar yang hanya akan kita lihat sendiri manakala kita akan tidur.
Dale Carnegie menulis, “Tatkala kita berurusan
dengan manusia, mari kita mengingat bahwa kita tidak berurusan dengan
makhluk logika. Kita berurusan dengan makhluk penuh emosi, makhluk yang
penuh prasangka dan demotivasi oleh rasa bangga dan sombong.” Dale
benar, manusia memang sering lebih mengedepankan emosinya dari pada
logikanya karena ingin dirinya dianggap penting.
Atas dasar pendapat ini, seseorang akan lebih senang datang ke toko yang pemiliknya ramah dan murah senyum. Jangankan harganya sama, harga
sedikit lebih mahal pun kadang tidak dipersoalkan asal pelayanannya
memuaskan dari pada harga murah namun pelayanan menyebalkan. Layanan
yang memuaskan merupakan salah satu unsur penting dalam bisnis.
Hebatnya senyuman tidak hanya terbatas di dunia
bisnis. Hebatnya senyuman berlaku dalam segala urusan manusia.
Pertemanan dan rasa cinta sering terjadi dengan diawali sebuah senyuman.
Kemarahan, rasa jengkel, silang pendapat sering mudah diakhiri dengan
sebuah senyuman.
Kalau kita menaruh rasa cinta kepada seseorang,
ungkapan cinta itu sering kita sampaikan dengan sebuah senyuman.
Demikian juga sebaliknya, tanggapan cinta itu sering ditandai dengan
sebuah senyuman. Bila kita memberikan isyarat cinta, misalnya dengan
memanggil namanya secara halus, lantas yang bersangkutan menanggapi
dengan senyuman, maka kita sudah mendapatkan separuh kesempatan.
Bandingkan misalnya apabila tanggapan yang kita dapat itu berupa ‘muka
ditekuk’. Setidaknya, senyum membikin kesan pertama begitu mempesona,
selanjutnya terserah Anda!
Demikian juga dalam hal berteman, orang yang murah
senyum biasanya akan lebih banyak mendapatkan teman. Senyum identik
dengan kedamaian. Kita akan merasa nyaman berada di dekat orang senyum dari pada orang yang mengumpat mengobral kemarahan.
Kalau kita berbeda pendapat dengan orang lain, dan
baik kita maupun orang itu saling ngotot berdebat dengan nada suara
tinggi, apa yang terjadi? Akankah lawan kita itu akan begitu saja
sejalan dengan pendapat kita? John Wanamaker, seorang pengusaha toko di Amerika Serikat, mengatakan, ‘sembilan puluh sembilan dari seratus, orang tidak menyalahkan dirinya.” Orang akan cenderung defensif. Yang kita dapat dari debat kusir tidak lebih dari sebuah kebuntuan dan rasa dongkol.
Lain halnya, apabila perbedaan itu dibicarakan
dengan senyuman. Artinya kita berbicara dengan suasana dingin dan
bersahabat, mungkin saja jalan keluar yang kita dapatkan tak sesulit
yang kita bayangkan. Suasana penuh senyum akan mendorong kita
mengedepankan logika dari pada emosi. Masih ingat kata-kata Dale Carnegie diatas yang bilang kalau manusia itu makhluk penuh emosi?
Karena senyum merupakan manifestasi emosi kita, maka perasaan kita bisa terlihat dari bagaimana kita senyum. Tatkala
orang mengemukakan pendapatnya dan kita menyambutnya dengan senyum yang
tulus, itu tandanya kita setuju. Setidaknya kita benar-benar
mendengarkannya. Sebaliknya, kalau kita meremehkannya, senyum yang
keluar adalah senyum masam yang tak lebih dari sebuah sinisme. Senyum
mencerminkan apa yang ada di hati kita! Kecuali mungkin bagi pemain
sandiwara profesional yang bisa mengkamuflase senyuman, yang bisa
tersenyum ketika hati menangis.
Perusahaan telepon Amerika pernah menggalakkan program ‘kekuatan telepon’. Pegawai yang menggunakan jasa telepon untuk menjual produk-produknya, disarankan untuk tersenyum ketika kita bicara di telepon. “Senyum Anda akan terdengar dalam suara Anda”, demikian kata program tersebut. Hati kita tercermin dalam senyum dan senyum kita bahkan bisa ditransfer melalui telepon kepada lawan bicara kita. Hebat bukan?
Perusahaan telepon Amerika pernah menggalakkan program ‘kekuatan telepon’. Pegawai yang menggunakan jasa telepon untuk menjual produk-produknya, disarankan untuk tersenyum ketika kita bicara di telepon. “Senyum Anda akan terdengar dalam suara Anda”, demikian kata program tersebut. Hati kita tercermin dalam senyum dan senyum kita bahkan bisa ditransfer melalui telepon kepada lawan bicara kita. Hebat bukan?
Senyum juga dapat digunakan sebagai senjata
mematikan. Pada zaman dahulu, ketika senjata tombak, keris dan pedang
tidak lagi mampu mengalahkan lawan maka senyum digunakan sebagai senjata
pamungkas. Raja itu akan menyusupkan seorang wanita untuk menaklukkan
musuh. Diawali dengan sebuah senyuman, lawan akan jatuh tersungkur.
Zaman sekarang senyum pun masih digunakan sebagai
senjata. Untuk memenangkan tender, dipakailah umpan seorang wanita
sayang murah senyum. Kalau perlu, sampai gratifikasinya. Tidak jarang
memang hasilnya milyaran rupiah kemudian mengalir ke kantong. Kurang
hebat bagaimana?
Kalau kita senyum sebagai sebuah bentuk apresiasi,
lakukanlah itu dengan tulus! Kalau kita senyum untuk sebuah sinisme,
hindarilah! Kalau kita senyum tanpa alasan yang jelas, sadarilah! itu
tanda bahaya!
Maka, marilah tersenyum dengan tulus!
0 komentar:
Posting Komentar