Sabtu, 23 Februari 2013

Hebatnya Senyuman

13616294731592935156
‘Orang yang tidak bisa tersenyum jangan membuka toko’, demikian pepatah China yang sudah ada sejak zaman Tiongkok kuno. Untuk membuka toko, orang Cina tidak mengatakan harus punya uang, melainkan senyum yang harus dipunyai lebih dulu. Apakah karena uang tidak penting? Tentu saja modal berupa uang sangat penting. Bahkan kalau bicara modal, maka yang ada dalam benak kita adalah modal dalam bentuk uang. Itu tandanya uang sangat penting. Uang memang bukan segalanya, tetapi segalanya perlu uang.

Maksud dari pepatah itu hendak menunjukkan betapa pentingnya sebuah senyuman. Membuka toko tidak akan lepas dari kegiatan yang berhubungan dengan manusia. Memajang barang dagangan di toko, beda dengan memajang barang koleksi di kamar kita. Barang yang kita pajang di toko adalah barang yang kita jual. Barang yang kita tawarkan agar orang lain datang membeli, datang lagi hari berikutnya, dan terus akan datang. Kalau bisa malahan mereka akan mengajak orang lain untuk datang membeli. Ini jelas beda dengan memajang barang koleksi kita di kamar yang hanya akan kita lihat sendiri manakala kita akan tidur.
Dale Carnegie menulis, “Tatkala kita berurusan dengan manusia, mari kita mengingat bahwa kita tidak berurusan dengan makhluk logika. Kita berurusan dengan makhluk penuh emosi, makhluk yang penuh prasangka dan demotivasi oleh rasa bangga dan sombong.” Dale benar, manusia memang sering lebih mengedepankan emosinya dari pada logikanya karena ingin dirinya dianggap penting.
Atas dasar pendapat ini, seseorang akan lebih senang datang ke toko yang pemiliknya ramah dan murah senyum. Jangankan harganya sama, harga sedikit lebih mahal pun kadang tidak dipersoalkan asal pelayanannya memuaskan dari pada harga murah namun pelayanan menyebalkan. Layanan yang memuaskan merupakan salah satu unsur penting dalam bisnis.
Hebatnya senyuman tidak hanya terbatas di dunia bisnis. Hebatnya senyuman berlaku dalam segala urusan manusia. Pertemanan dan rasa cinta sering terjadi dengan diawali sebuah senyuman. Kemarahan, rasa jengkel, silang pendapat sering mudah diakhiri dengan sebuah senyuman.
Kalau kita menaruh rasa cinta kepada seseorang, ungkapan cinta itu sering kita sampaikan dengan sebuah senyuman. Demikian juga sebaliknya, tanggapan cinta itu sering ditandai dengan sebuah senyuman. Bila kita memberikan isyarat cinta, misalnya dengan memanggil namanya secara halus, lantas yang bersangkutan menanggapi dengan senyuman, maka kita sudah mendapatkan separuh kesempatan. Bandingkan misalnya apabila tanggapan yang kita dapat itu berupa ‘muka ditekuk’. Setidaknya, senyum membikin kesan pertama begitu mempesona, selanjutnya terserah Anda!
Demikian juga dalam hal berteman, orang yang murah senyum biasanya akan lebih banyak mendapatkan teman. Senyum identik dengan kedamaian. Kita akan merasa nyaman berada di dekat orang senyum dari pada orang yang mengumpat mengobral kemarahan.
Kalau kita berbeda pendapat dengan orang lain, dan baik kita maupun orang itu saling ngotot berdebat dengan nada suara tinggi, apa yang terjadi? Akankah lawan kita itu akan begitu saja sejalan dengan pendapat kita? John Wanamaker, seorang pengusaha toko di Amerika Serikat, mengatakan, ‘sembilan puluh sembilan dari seratus, orang tidak menyalahkan dirinya.” Orang akan cenderung defensif. Yang kita dapat dari debat kusir tidak lebih dari sebuah kebuntuan dan rasa dongkol.
Lain halnya, apabila perbedaan itu dibicarakan dengan senyuman. Artinya kita berbicara dengan suasana dingin dan bersahabat, mungkin saja jalan keluar yang kita dapatkan tak sesulit yang kita bayangkan. Suasana penuh senyum akan mendorong kita mengedepankan logika dari pada emosi. Masih ingat kata-kata Dale Carnegie diatas yang bilang kalau manusia itu makhluk penuh emosi?
Karena senyum merupakan manifestasi emosi kita, maka perasaan kita bisa terlihat dari bagaimana kita senyum. Tatkala orang mengemukakan pendapatnya dan kita menyambutnya dengan senyum yang tulus, itu tandanya kita setuju. Setidaknya kita benar-benar mendengarkannya. Sebaliknya, kalau kita meremehkannya, senyum yang keluar adalah senyum masam yang tak lebih dari sebuah sinisme. Senyum mencerminkan apa yang ada di hati kita! Kecuali mungkin bagi pemain sandiwara profesional yang bisa mengkamuflase senyuman, yang bisa tersenyum ketika hati menangis.

Perusahaan telepon Amerika pernah menggalakkan program ‘kekuatan telepon’. Pegawai yang menggunakan jasa telepon untuk menjual produk-produknya, disarankan untuk tersenyum ketika kita bicara di telepon. “Senyum Anda akan terdengar dalam suara Anda”, demikian kata program tersebut. Hati kita tercermin dalam senyum dan senyum kita bahkan bisa ditransfer melalui telepon kepada lawan bicara kita. Hebat bukan?
Senyum juga dapat digunakan sebagai senjata mematikan. Pada zaman dahulu, ketika senjata tombak, keris dan pedang tidak lagi mampu mengalahkan lawan maka senyum digunakan sebagai senjata pamungkas. Raja itu akan menyusupkan seorang wanita untuk menaklukkan musuh. Diawali dengan sebuah senyuman, lawan akan jatuh tersungkur.
Zaman sekarang senyum pun masih digunakan sebagai senjata. Untuk memenangkan tender, dipakailah umpan seorang wanita sayang murah senyum. Kalau perlu, sampai gratifikasinya. Tidak jarang memang hasilnya milyaran rupiah kemudian mengalir ke kantong. Kurang hebat bagaimana?
Kalau kita senyum sebagai sebuah bentuk apresiasi, lakukanlah itu dengan tulus! Kalau kita senyum untuk sebuah sinisme, hindarilah! Kalau kita senyum tanpa alasan yang jelas, sadarilah!  itu tanda bahaya!
Maka, marilah tersenyum dengan tulus!

0 komentar: